Candi Penataran atau Candi Panataran atau nama
aslinya adalah Candi Palah adalah sebuah gugusan candi bersifat keagamaan Hindu
Siwaitis yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar,
Jawa Timur. Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng
barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter di
atas permukaan laut. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan
candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar tahun
1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana,
Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
Nama asli candi Penataran dipercaya adalah
Candi Palah yang disebut dalam prasasti Palah, dibangun pada tahun 1194 oleh
Raja Çrnga (Syrenggra) yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarweqwara
Triwikramawataranindita Çrengalancana Digwijayottungadewa yang memerintah
kerajaan Kediri antara tahun 1190 – 1200, sebagai candi gunung untuk tempat
upacara pemujaan agar dapat menangkal atau menghindar dari mara bahaya yang disebabkan
oleh Gunung Kelud yang sering meletus. Kitab Negarakretagama yang ditulis oleh
Mpu Prapanca menceritakan perjalanan Raja Hayam Wuruk, yang memerintah kerajaan
Majapahit antara tahun 1350 – 1389, ke Candi Palah untuk melakukan pemujaan
kepada Hyang Acalapat, perwujudan Siwa sebagai Girindra (Giri Indra, raja
penguasa gunung).
Kesamaan nama Girindra yang disebut pada kitab
Negarakretagama dengan nama Ken Arok yang bergelar Girindra atau Girinatha
menimbulkan dugaan bahwa Candi Penataran adalah tempat pedharmaan (perabuan)
Ken Arok, Girindra juga adalah nama salah satu wangsa yang diturunkan oleh Ken
Arok selain wangsa Rajasa dan wangsa Wardhana. Sedangkan Hyang Acalapati adalah
salah satu perwujudan dari Dewa Siwa, serupa dengan peneladanan sifat-sifat Bathara
Siwa yang konon dijalankan Ken Arok.
Perhatian terhadap prasasti Palah kembali pada
tahun 1286, pada masa pemerintahan Kertanegara. Beliau mendirikan Candi Naga
dengan hiasan relief naga yang disangga oleh 9 orang sebagai lambang
candrasengkala ”Naga muluk sinangga jalma” atau tahun 1208 Saka.
Pada masa pemerintahan Jayanegara candi
Penataran mulai mendapat perhatian kembali, kemudian dilanjutkan pada masa
Tribuanatunggadewi dan Hayam Wuruk. Pemujaan terhadap Dewa Palah semakin kental
diwarnai pemujaan kepada Dewa Gunung atau Syiwa. Candi Penataran diresmikan
sebagai candi negara dengan status dharma lepas. Sesuai angka tahun yang
dipahatkan didinding kolam yaitu tahun 1337 Saka atau tahun 1415 M merupakan
angka tahun termuda di antara angka-angka tahun yang terdapat di kompleks candi
Penataran tersebut. Waktu itu Majapahit didalam masa pemerintahan
Wikramawardhana.
Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit yang
kemudian disusul dengan masuknya agama Islam di Jawa, banyak bangunan suci yang
berkaitan dengan agama Hindu dan Budha begitu saja ditinggalkan oleh masyarakat
penganutnya. Lama kelamaan bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan
itu dilupakan orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti
kepercayaan. Akibatnya bangunan tersebut menjadi terlantar tidak ada lagi yang
mengurusnya, pada akhirnya tertimbun longsoran tanah dan semak semak belukar.
Candi Penataran ditemukan kembali pada tahun
1815, tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir
Thomas Stamford Raffles (1781-1826), Gubernur Jenderal pemerintah kolonial
Inggris yang pernah berkuasa di Nusantara. Seiring berjalannya waktu, kompleks
candi Penataran yang dahulunya sempat terabaikan sekarang mulai mendapatkan
perhatian dari pemerintah dan kemudian dipugar. Kini candi ini menjadi tujuan
wisata yang menarik.
Pada tahun 1995 candi ini diajukan sebagai
calon Situs Warisan Dunia UNESCO dalam daftar tentatifnya.
Kompleks
candi
Kompleks candi ini adalah gugusan beberapa
bangunan yang membujur dalam poros barat laut-tenggara. Di belakang candi utama
di sisi timur terdapat sungai yang berhulu di gunung Kelud. Kompleks candi ini
disusun dalam pola linear, beberapa candi perwara dan balai pendopo terletak di
depan candi utama. Tata letak ini berbeda dengan candi pada langgam Jawa
Tengah, misalnya Candi Sewu, yang disusun dalam pola mandala konsentrik dengan
candi utama terletak di tengah halaman candi dikelilingi barisan candi perwara.
Pola susunan linear dengan pola agak tidak beraturan pada candi Penataran ini
merupakan ciri khas langgam Jawa Timur yang berkembang pada zaman Kediri hingga
Majapahit, lalu dilanjutkan pada pola tata letak Pura Bali.
Kompleks bangunan Candi Penataran menempati
areal tanah seluas 12.946 meter persegi berjajar membujur dari barat laut ke
timur dan tenggara. Seluruh halaman komplek percandian kecuali yang bagian
tenggara dibagi menjadi tiga bagian, yang dipisahkan oleh dua dinding. Untuk
lebih mudahnya dalam memahami kompek Candi Penataran, bagian-bagian dari Candi
Penataran disebut halaman depan, halaman tengah, dan halaman belakang. Susunan
dari komplek Candi Penataran yang sangat unik dan tidak tersusun simetris. Hal ini
mengambarkan bahwa pembuatan candi tidak dalam satu periode. Berikut adalah
bagian-bagian dari Candi Penataran:
Halaman
depan
Masuk kedalam halaman depan, pintu gerbang
terletak di sisi barat laut kompleks candi, diapit oleh dua arca Dwarapala,
penjaga pintu degan angka tahun 1242 Saka atau 1320 Masehi terpahat pada arca.
Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Reco Pentung. Berdasarkan pahatan angka
tahun yang ada pada kedua lapik arca tersebut, para sejarahwan menyimpulkan
bahwa bangunan Candi Palah baru diresmikan menjadi Candi Negara pada masa
pemerintahannya Raja Jayanegara dari Majapahit. Sebelah timur kedua arca
tersebut terdapat sisa-sisa pintu gerbang yang terbuat dari batu bata merah.
Bale
Agung
Melalui bekas pintu gerbang, sampailah pada
bagian terdepan dari Candi Penataran, Bale Agung. Lokasi bangunan tersebut
terletak di bagian barat laut halaman depan, posisinya sedikit menjorok ke
depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu, didingnya masih polos dan
memiliki empat buah tangga, dua buah terletak di sisi tenggara, sehingga
bangunan ini terkesan menghadap tenggara. Sedangkan dua buah yang lain terletak
di sisi timur laut dan barat daya terkesan sebagai tangga ke pintu samping.
Pada diding utara dan selatan terdapat dua buah tangga masuk yang membagi
dinding sisi timur menjadi tiga bagian.
Sekeliling tubuh bangunan Bale Agung dililit
oleh ular naga. Kepala ular naga tersembul di bagian kanan dan kiri bangunan.
Masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang berupa arca mahakala.
Bangunan Bale Agung berukuran panjang 37 meter, lebar 18,84 meter dan tinggi
1,44 meter. Di atas ada pelataran yang di masing-masing sudutnya ada
umpak-umpak batu yang diperkirakan sebagai penumpu tiang-tiang kayu yang
digunakan untuk atap bangunan. Fungsi bangunan Bale Agung menurut N.J Krom
seperti juga di Bali dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau
pendanda. Dipastikan bale atau pendopo ini pernah dinaungi struktur tiang dan
atap dari bahan organik kayu dan mungkin beratap ijuk atau sirap yang telah
lapuk dan musnah.
Pendopo
Teras
Lokasi bangunan terletak di sebelah tenggara
bangunan Bale Agung. Pendopo Teras seluruhnya terdiri dari batu, berbentuk
empat persegi panjang dengan ukuran 29,05 meter x 9,22 meter x 1,5 meter.
Diperkirakan Pendopo Teras digunakan sebagai tempat untuk meletakkan sesaji
dalam upacara keagamaan atau tempat peristirahatan raja dan bangsawan lainnya.
Pada sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga
ini tidak berlanjut di dinding bagian timur. Pada masing-masing sudut tangga
masuk di sebelah kiri dan kanan pipi tangga terdapat arca raksasa kecil
bersayap dengan lutut kaki ditekuk pada satu kakinya dan salah satu tangannya
memegang gada. Pipi tangga bagian yang berbentuk ukel besar berhias tumpal yang
indah.
Bangunan Pendopo Teras berangka tahun 1297
Saka atau 1375 Masehi. Letak pahatan tahun ini agak sulit mencarinya karena
berbaur dengan hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasinya berada di
pelipit bagian atas dinding sisi timur. Seperti pada Bale Agung, Pendopo Teras
juga dililit teras ular yang ekornya saling berbelitan, kepalanya tersembul ke
atas di antara pilar-pilar bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas,
memakai kalung dan berjambul. Pada dinding Pendopo Teras terdapat relief-relief
yang menceritakan kisah tentang Bubhuksah dan Gagang Aking yang di dalam cerita
rakyat dikenal dengan kisah Bela-belu dan Dami aking, Sang Setyawan dan Sri
Tanjung.
Candi
Angka Tahun
Candi Angka Tahun seperti umumnya
bangunan-bangunan candi lain, terdiri dari bagian-bagian yang disebut kaki
candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi, terdapat bilik atau
kamar candi (garbagriha) dan kemudian mastaka atau kemuncak bangunan yang
berbentuk kubus. Pada bagian mahkota terdapat hiasan yang raya dan pada
masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa
pintu semu yang di bagian atasnya terdapat kepala raksasa kala yang rupanya
menakutkan. Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kala yang di Jawa Timur
sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan. Penempatan kepala kala di
atas relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani
masuk komplek percandian. Sementara itu pada sekeliling bangunan ini terdapat
sisa-sisa tembok bata yang tinggal bagian dasarnya dengan pintu masuk di sisi
barat laut. Bangunan-bangunan di halaman pertama ini seluruhnya terbuat dari
batu andesit. Kecuali dua buah pondasi dari bata berdenah persegi panjang,
terletak di sebelah timur laut candi angka tahun ini. Di sebelah kiri candi
angka tahun terdapat arca wanita yang ditafsirkan sebagai arca perwujudan
Gayatri Rajapatni.
Halaman
tengah
Memasuki halaman kedua dari Candi Penataran,
terdapat dua buah arca Dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil dibanding
Dwarapala pintu masuk candi. Seperti pada arca Dwarapala di pintu masuk,
Dwarapala ini pun pada lapik arcanya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun
1214 Saka atau 1319 Masehi, setahun lebih tua dibanding Dwarapala di pintu
masuk, juga berasal dari zaman Raja Jayanegara.
Halaman tengah atau halaman
kedua ini terbagi menjadi dua bagian oleh tembok bata yang membujur arah
percandian di tengah halaman. Tembok tersebut sekarang hanya tinggal pondasinya
saja yang masih terlihat. Pada bagian timur laut ada enam buah sisa bangunan
dari batu maupun dari bata. Tiga buah tinggal sisanya berupa pondasi dari bata,
dua buah berupa batur dan sebuah lagi berupa candi tanpa penutup di atasnya.
Batur pertama terbuat dari batu bercampur bata dengan ukuran lebih besar
dibanding batur satunya yang khusus terbuat dari batu.Relief gambar dwarapāla (penjaga pintu).
Pada bagian dalam halaman tengah ini terdapat
Candi Naga yang hanya tersisa bagian kaki dan badan dengan ukuran lebar 4,83
meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Nama Candi Naga digunakan
untuk menamakan bangunan ini karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan
disangga tokoh-tokoh berbusana raya seperti raja sebanyak sembilan buah,
masing-masing berada di sudut-sudut bangunan, bagian tengah ketiga dinding dan
di sebekah kiri dan kanan pintu masuk. Para Batara ini menggambarkan sosok
makhluk kahyangan, yaitu para dewa dilihat berdasarkan dari ciri busana raya
dan perhiasan mewah yang dikenakannya. Salah satu tangannya memegang genta
(lonceng upacara) dan tangan yang lainnya menopang tubuh naga yang melingkar di
bagian atas bangunan dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan.
Masing-masing dinding tubuh candi dihiasi dengan relief-relief buatan yang
disebut dengan motif medalion. Pintu masuk candi terletak di barat laut dengan
pipi tangga berhiaskan tumpal dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57
meter dan tinggi 4,70 meter. Di depan telah disampaikan bahwa gambar naga di
sangga 9 orang ini mengisyaratkan sebuah candrasengkala ”Naga muluk sinangga
jalma” yang berarti angka tahun 1208 Saka atau 1286 M dimasa pemerintahan
Kertanegara.
Pondasi
bata
Masih dalam lingkungan halaman tengah,
terdapat sebuah pondasi dari bata yang terkesan menghadap barat daya, diketahui
dari bidang menjorok ke sisi barat daya dan membentuk suatu pintu masuk.
Lokasinya terletak di sebelah timur candi. Bagian barat daya terdapat dua buah
sisa bangunan, yaitu sebuah pondasi dari bata berukuran 10 x 20 meter dan
sebuah lagi berdenah bujur sangkar yang memiliki ciri-ciri sama dengan salah
satu pondasi di bagian timur laut. Pada bagian sudut barat halaman ini terdapat
sekumpulan ambang pintu yang terlepas dari bangunan aslinya. Pada ambang-ambang
pintu itu beberapa di antaranya memuat angka tahun yang masih dapat terbaca
dengan jelas, yaitu tahun 1245 Saka, 1294 Saka, 1295 Saka, dan dua buah lagi
berangka tahun sama yaitu 1301 Saka. Ada dua buah arca Dwarapala lagi dengan
angka tahun 1242 Saka terletak di pintu masuk ke halaman ketiga yang mungkin
bekas sebuah gapura paduraksa, karena dekat tempat itu terdapat reruntuhan
sebuah pintu yang berangka tahun 1240 Saka.
Halaman
belakang
Melewati pintu gerbang paduraksa yang hanya
tinggal pondasi dan dijaga dua dwarapala, sampailah di halaman ketiga terletak
di ujung tenggara sebagai bagian paling belakang dari kompleks candi dan
terletak di tanah yang lebih tinggi dari yang lainnya. Karena adanya anggapan
bahwa tempat tersebut merupakan tempat yang paling sakral. Ada sekitar 9 buah
bekas bangunan di halaman ini yang letaknya tidak beraturan. Dua buah candi
yang sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk dan prasasti Palah berupa
linggapala. Sepanjang sisi barat laut terdapat lima buah sisa bangunan berupa
pondasi dan batur dari batu atau bata. Satu daiantaranya sebuah batur yang
terdapat relief-relief cerita candi. Tingginya sekitar satu meter.
Candi
utama
Bangunan utama Candi Penataran berbentuk
Piramida Berundak.
Pada halaman ketiga ini terdapat bangunan
candi induk yang terdiri dari tiga teras tersusun dengan tinggi 7,19 meter.
Pada masing-masing sisi tangga terdapat dua arca mahakala, yang pada lapiknya
terdapat angka tahun 1269 Saka atau 1347 M. Sekelling dinding candi pada teras
pertama terdapat relief cerita Ramayana. Untuk dapat membacanya harus mengikuti
arah prasawiya, dimulai dari sudut barat laut. Pada teras kedua sekeliling
dinding dipenuhi pahatan relief ceritera Krçnayana yang alur ceriteranya dapat
diikuti secara pradaksina (searah jarum jam). Sedangkan di teras ke tiga berupa
relief naga dan singa bersayap. Teras ketiga bentuknya hampir bujur sangkar,
dinding-dindingnya berpahatkan arca singa bersayap dan naga bersayap. kepalanya
sedikit mendongak ke depan sedangkan singa bersayap kaki belakangnya dakam
posisi berjongkok sedang kaki depan diangkat ke atas.
Pada sisi sebelah barat daya halaman terdapat
dua buah sisa bangunan. Sebuah candi kecil dari batu yang belum lama runtuh
yang oleh orang Belanda dulu dinamakan ”klein heligdom” atau bathara kecil.
Nampaknya candi inilah yang mula-mula dibuat bersamaan dengan parasasti Palah
melalui upacara pratistha tersebut. Sebuah sisa yang lain berupa pondasi dari
bata. Kedua sisa bangunan ini menghadap ke arah barat daya. Sederet dengan sisa
kedua bangunan ini berdiri sebuah lingga batu yang disebut Prasasti Palah.
Dalam area komplek percandian juga terdapat sebuah kolam berangka tahun 1337
Saka atau 1415 Masehi yang terletak di belakang candi sebelah tenggara dekat
aliran sungai.
Prasasti
Palah
Prasasti Palah menerangkan bahwa “menandakan
Kertajaya berbahagia dengan kenyataan tidak terjadi sirnanya empat penjuru dari
bencana” dari kalimat ”tandhan krtajayayåhya / ri bhuktiniran tan pariksirna
nikang sang hyang catur lurah hinaruhåra nika”. Rasa senangnya tersebut
kemudian beliau curahkan dengan perintah dibangunnya prasasti yang tertulis
dalam sebuah linggapala oleh Mpu Amogeçwara atau disebut pula Mpu Talaluh.
Bangunan tersebut beliau fungsikan untuk menyembah Bathara Palah, seperti yang
tertuang dalam prasasti tersebut yang beerbunyi “sdangnira Çri Maharaja
sanityangkên pratidina i sira paduka bhatara palah” yang berarti “Ketika beliau
Sri Maharaja senantiyasa setiap hari berada di tempat bathara Palah”.
Gaya relief
Selain sebagai komplek percandian terluas,
Candi Penataran juga memiliki kekhasan dalam ikonografi reliefnya. Gaya
reliefnya menunjukkan bentuk yang jelas berbeda dari candi-candi Jawa Tengah
dari sebelum abad ke-11 seperti Candi Prambanan. Wujud relief manusia
digambarkan mirip wayang kulit, seperti yang bisa dijumpai pada gaya pengukiran
yang ditemukan di Candi Sukuh, suatu candi dari masa akhir periode Hindu-Buddha
dalam sejarah Nusantara. Candi ini diusulkan dalam daftar Situs Warisan Dunia
UNESCO sejak 19 Oktober 1995.
Sepanjang dinding Pendopo Teras terukir kisah
Bubhuksah dan Gagang Aking, serta kisah Sri Tanjung. Ceritanya adalah sebaga
berikut, Bhuksa digambarkan sebagai sesosok makhluk yang berbadan besar, suka
memakan apapun, ikhlas dan tidak pernah tidur. Sedangkan Gagang aking, kurus
kering, suka berpuasa dan juga suka tidur. Suatu saat Dewa Siwa menjelma
menjadi macan putih guna menguji kedua orang tersebut. Tanggapan dari Gagang
Aking adalah ”saya orang yang kurus, jangan makan saya tetapi makanlah teman
saya yang gemuk” sedangkan Bhuksa ”silakan makanlah tubuh saya”. Dalam ujian
tersebut Bhuksa lulus dan ia kemudian masuk Surga. Hikmah yang bisa dipetik
dari kisah tersebut yakni manusia harus ikhlas dalam menjalani hidup ini.
Sidapaksa lantas diutus ke Sorga, dengan
membawa surat yang isinya pembawa surat akan menyerang Sorga. Atas bantuan Sri
Tanjung yang menerima warisan selendang dari ayahnya Raden Sudamala, dia bisa
ke sorga, dan di sana dia dihajar para dewa. Namun akhirnya dengan menyebut
leluhurnya Pandawa dia dibebaskan dan diberi berkah. Sepeninggal Sidapaksa, Sri
Tanjung dipaksa oleh Sulakrama dan Sri Tanjung menolak. Mendadak datang
Sidapaksa dan Sri Tanjung difitnah mengajak raja berzinah. Akhirnya dengan
garang Sidapaksa membunuh Sri Tanjung. Namun Sri Tanjung dihidupkan kembali
oleh para dewa. Sidapaksa pun diharuskan membunuh Raja Sulakrama, dan dalam
peperangan dia berhasil.
Ramayana dan Kresnayana
Pada dinding Candi Utama terukir relief
Ramayana dengan tokoh Rama dan Shinta, dan relief Kresnayana dengan tokoh
Krisna dan Rukmini. Kisah Kresnayana menceritakan Krisna yang menculik dan
mempersunting Rukmini. Relief candi di Jawa Timur biasanya dipahat berdasarkan
analogi riwayat hidup tokoh yang didharmakan di tempat tersebut. Kisah Ramayana
dan Kresnayana yang dipahatkan pada dinding candi Penataran ditafsirkan mirip
dengan kisah Ken Arok dan Ken Dedes. Ketokohan Ken Arok sendiri masih menjadi
kontroversi antara karakter seorang bandit yang berambisi memperbaiki keturunan
setelah mengerti arti cahaya yang terpancar dari garbha Ken Dedes yang
dilihatnya dan kemudian membunuh Tunggul Ametung yang menjadi suami sang
nareswari, atau karakter seorang bangsawan yang mengemban amanat dari Mpu Purwa
yang merupakan ayah Ken Dedes sekaligus keturunan Mpu Sindok untuk
mengembalikan kejayaan kerajaan Kanjuruhan yang ditaklukkan oleh kerajaan
Kediri, dengan dukungan kalangan brahmana dari kedua kerajaan.
Kitab Negarakretagama menyebutkan bahwa Ken
Arok dicandikan di daerah Kagenengan, yang dewasa ini masih tersisa sebagai
nama desa di wilayah selatan Kabupaten Malang, tepatnya di Kecamatan Pakisaji.
Belum dapat dipastikan apakah Desa Kagenengan ini merupakan tempat yang sama
yang disebut dalam kitab Negarakertagama, dan apakah luas daerah ini pada zaman
itu meliputi wilayah Kecamatan Nglegok, tempat Candi Penataran berada.
Sumber Arikel:
Sumber Foto:


0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !