Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri dan
Mojokerto, seakan-akan "diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat
kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori natural seats of power yang
dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919. Teori
tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di
Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit,
semuanya beribukota di dekat daerah aliran Sungai Brantas.
Jika saat ini Kediri dan Malang dapat dicapai
melalui tiga jalan utama, yaitu melalui Mojosari, Ngantang, atau Blitar, maka
tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui
Mojosari atau Blitar jika ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini
disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlalu
berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge
dan M.L. van de Venter pada tahun 1909.
Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya
saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar
muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah
payah mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena medan
yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi Blitar lebih
disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan
alamnya yang cukup landai.
Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga
sekarang), daerah Blitar merupakan daerah lintasan antara Dhoho (Kediri) dengan
Tumapel (Malang) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang
dimiliki Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua
daerah yang saling bersaing (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari).
Banyaknya prasasti yang ditemukan di daerah ini (kira-kira 21 prasasti) bisa
dikaitkan dengan alasan tersebut.
Kitab Negarakertagama
Pendapat yang mengatakan bahwa Kabupaten
Blitar merupakan daerah perbatasan antara Dhoho dengan Tumapel dapat
disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu
Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Raja Airlangga meminta Empu
Bharada untuk membagi Kerajaan Kediri menjadi dua, yaitu Panjalu dan Jenggala.
Empu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara
menuangkan air kendi dari ketinggian. Air tersebut konon berubah menjadi sungai
yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai
ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah
berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar
menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis
mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.
Kitab Pararaton
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa
balatentara Daha yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan
Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara
(Mojosari). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab
Pararaton dengan kalimat saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring
Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor... langsung menuju
Singosari.[4] Nama atau kata Aksa yang muncul dalam kalimat tersebut
diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah
nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad
ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang mengatakan bahwa ...di sebelah timur
sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan di sebelah baratnya adalah
wilayah Blitar.
Candi
Oleh karena letaknya yang strategis, Blitar
penting artinya bagi kegiatan keagamaan, terutama Hindu, pada masa lalu. Lebih
dari 12 candi tersebar di seantero Blitar. Adapun candi yang paling terkenal di
daerah ini adalah Candi Penataran yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan
Nglegok. Menurut riwayatnya, Candi Penataran dahulu merupakan candi negara atau
candi utama kerajaan. Pembangunan Candi Penataran dimulai ketika Raja Kertajaya
mempersembahkan sima untuk memuja sira paduka bhatara palah yang berangka tahun
Saka 1119 (1197 Masehi).
Nama Penataran ini kemungkinan besar bukan
nama candinya, melainkan nama statusnya sebagai candi utama kerajaan.
Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga disebut dengan penataran, misalnya
Pura Panataransasih. Menurut seorang ahli, kata natar berarti pusat, sehingga
Candi Penataran di sini dapat diartikan sebagai candi pusat. Selengkapnya,
silakan lihat laman Candi Penataran.
Di sebelah timur Candi Penataran, beberapa
tahun yang lalu juga telah ditemukan candi di Doko yang oleh masyarakat
setempat dijadikan objek wisata.
Hari jadi
Salah satu sumber sejarah yang paling penting
adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin
kebenarannya. Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang
berupa pujian.
Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan
Waisaka tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam
Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk
mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya
singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap
suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping
(Sumberjati) di Kademangan dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di
Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke
Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari
di Lodoyo. Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu,
sehingga Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan
istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit
carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni.
Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander
dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat
siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat.
Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati.[9] Oleh
karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa
Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para
penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini
merupakan peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra
di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada
hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi,
sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang
akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !